Skip to document

The Philosophy of Emotions and History of Emotions

Membahas tentang The Philosophy of Emotions and History of Emotions
Course

Teori Emosi dan Aplikasi

18 Documents
Students shared 18 documents in this course
Academic year: 2020/2021
Uploaded by:
Anonymous Student
This document has been uploaded by a student, just like you, who decided to remain anonymous.
Universitas Andalas

Comments

Please sign in or register to post comments.

Preview text

Makalah Teori Emosi dan Aplikasi

The Philosophy of Emotions & History of Emotions:

Issues of Change and Impact

Dosen Pengampu: Septi Mayang Sarry, M., Psikolog Disusun Oleh: Kelompok 1

  1. Iffa Fadhila Hafsah (1910321001)
  2. Putri Oktaviani (1910321005)
  3. Sindria Melani (1910321029)
  4. Putri Tri Marta (1910321034)
  5. Kamelia Putri (1910322011)
  6. Ricky Nanda Saputra (1910322033)
  7. Puti Bidara Suri (1910323003)

Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat serta karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “The Philosophy and History of Emotion” ini dengan tepat waktu. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Teori Emosi dan Aplikasi dari Ibu Septi Mayang Sarry, M., Psikolog

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengaku menemukan banyak kesulitan dan hambatan. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaiannya. Penulis juga berharap makalah ini dapat membantu mahasiswa untuk memahami topik materi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran, serta masukan yang membangun dari para pembaca sekalian. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Padang, Agustus 2020

Penulis

ii

2.2 Key Changes of Western Society ............................................................................. ............................................................................................................................. 2.2 Problems and Responses ........................................................................................ ............................................................................................................................. 2.2 The Streghts of The Historical Approach................................................................ ............................................................................................................................. 2.2 Growing Momentum................................................................................................ ............................................................................................................................. BAB III PENUTUP........................................................................................................... ......................................................................................................................................... 3 Kesimpulan.................................................................................................................... ......................................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... .........................................................................................................................................

iv

v

1 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut ini: 1. Agar mahasiswa dapat memahami sejarah filosofi emosi. 2. Agar mahasiswa dapat mengetahui pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang emosi. 3. Agar mahasiswa dapat memahami sejarah perkembangan emosi. 4. Agar mahasiswa dapat mengetahui manfaat pemahaman sejarah emosi.

BAB II

PEMBAHASAN

2 The Philosophy of Emotions William James pertama kali menpertanyaan mengenai definisi dari emosi di dalam karyanya yang berjudul “Mind” pada lebih dari satu abad yang lalu (James, 1884). Namun, meskipun teori tentang emosi mulai tumbuh, sifat emosi seringkali menjadi ancaman terhadap akal dan bahaya bagi filsuf dan filsafat. Salah satu metafora akal dan emosi yang bertahan paling lama adalah metafora “master and slave”, yang mana akal dapat dikendalikan dan dorongan emosi yang berbahaya dapat ditekan, disalurkan, hingga selaras dengan akal. Namun, hal tersebut masih belum bisa menjelaskan definisi emosi. Terdapat 2 ciri pada metafora “master-slave” yang masih menentukan banyak pandangan filosofis tentang emosi saat ini. Pertama, terdapat peran inferior pada emosi bahwa emosi lebih primitif dan lebih berbahaya daripada akal sehingga emosi harus dikendalikan oleh akal. Kedua, terdapat perbedaan pada emosi itu sendiri, seolah-olah keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan saling bertentangan. Bahkan para filsuf yang berusaha mengintegrasikan mereka dan mereduksi yang satu ke yang lain (biasanya mereduksi emosi menjadi genus akal inferior, “confused perception” atau “distorted judgment”) mempertahankan perbedaan dan terus bersikeras bahwa akal memiliki peran superior terhadap emosi.

2.1 The History of The Philosophical of Emotion Sejarah filsafat digambarkan sebagai sejarah perkembangan akal dan budi. Namun, para filsuf tidak sepenuhnya mengabaikan emosi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya kesalahpahaman mengenai istilah passion dan emosi dengan perasaan, hasrat, sentimen, mood, sikap, dan afektif. Plato—salah satu dari tiga filsuf terkenal — mencoba mendeskripsikan kata emosi ini. Baginya, emosi bukan berarti akal, jiwa, dan nafsu (bagian dari Tripartit Plato), serta bukan pula suatu hal yang terletak di

karena dorongan (motive) yang kuat, emosi bisa membawa manusia pada kehancuran dan seseorang yang tidak dapat mengontrol emosinya sama saja seperti sedang membahayakan hidupnya. Masa abad pertengahan, para peneliti mencoba meneliti mengenai emosi yang berkaitan dengan etnik dan fokusnya pada psikologi Kristen dan teori tentang sifat nature atau bawaan manusia yang diartikan sebagai pemahaman tentang diri mereka (Hyman & Walsh, dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011). Berdasarkan Lewis, Jones, & Barret (2011), saat itu berkembang penelitian dengan metode quasi-medical yang meneliti mengenai efek dari berbagai humor terhadap empedu, limfa, kolera dan darah yang dikaitkan dengan emosi tempramen dan penelitian mengenai aspek kognitif dan konatif dari emosi. Pemahaman mengenai emosi dikaitkan dengan hasrat atau keinginan yang didominasi oleh keinginan memikirkan diri sendiri (egoism) (Lewis, Jones, & Barret, 2011). Dirujuk dari Lewis, Jones, & Barret (2011), pada abad pertengahan banyak umat Kristen yang berbuat dosa sehingga berkembang penelitian yang mempelajari analisis tentang emosi, passion, dan hasrat yang berkaitan dengan dosa (seperti keserakahaan/kerakusan, nafsu, amarah, iri hati, dan kemalasan). Penelitian ini mendapatkan hasil yang cukup menarik, yaitu semakin tinggi rasa kebajikan dalam diri kita (seperti cinta, harapan, dan keyakinan), maka akan semakin tinggi status emosi dan sering disamakan dengan akal-sehat (Lewis, Jones, & Barret, 2011). Berkaitan dengan sejarah emosi, ada beberapa tokoh yang akan kita bahas, yaitu sebagai berikut:

  1. Rene Descartes (1596-1650) Rene Descartes adalah seorang filsuf yang berpendapat bahwa pikiran dan tubuh adalah dua substansi yang berbeda. Ia menyatakan bahwa emosi ialah interaksi antara pikiran dan tubuh. Descartes juga mempertegas pendapatnya mengenai emosi ini dalam bukunya (On The Passion of The Soul) bahwa pikiran dan fisik (yang membentuk emosi) bertemu dalam suatu kelenjar kecil di dasar otak (kelenjar pineal) dan mempengaruhi agitasi dari insting (bagian dari partikel darah) yang akan menimbulkan emosi dan efek fisik dari emosi ke beberapa bagian tubuh.

Emosi tidak hanya sensasi yang disebabkan oleh agitasi, tetapi termasuk persepsi, hasrat, dan keyakinan. Adanya agitasi fisik dan sensasi yang familier memunculkan emosi kebencian yang disebabkan karena persepsi bahwa ada objek yang berbahaya dan harus dihindari. Hal ini mengisyaratkan bahwa emosi bukan hanya tentang persepsi tubuh saja, tetapi juga persepsi jiwa dan persepsi tentang hal yang tidak terjadi (hanya di dalam mimpi). Emosi adalah salah satu jenis passion dan Descartes mendefinisikannya sebagai suatu persepsi, perasaan, atau emosi jiwa yang terkait dengan individu dan disebabkan, dipelihara, dan diperkuat oleh insting hewani dalam diri individu. Descarters membedaan passion menjadi dua jenis, yaitu clear cognition dan judgement yang tidak jelas. Dari penjelasan tersebut, Descartes mendapatkan kesimpulan bahwa ada enam jenis emosi dasar, yaitu rasa kagum, cinta, kebencian, keinginan, kegembiraan, dan kesedihan. 2. Baruch Spinoza (1632–1677) Spinoza menggambarkan emosi sebagai bentuk dari pikiran. Menurutnya, manusia harus berhenti berpikir bahwa manusia mampu mengontrol hidupnya sendiri. Namun, seharusnya meyakini bahwa kita bagian dari Tuhan. Spizona mencoba mengembangkan konsep mengenai kognitif emosi, ia menyatakan bahwa emosi pasif adalah ekspetasi manusia terhadap lingkungannya yang bisa memunculkan perasaan terluka, frustrasi, dan lesu, sedangan emosi aktif adalah naluri manusia yang meningkatkan kesadaran dan sense of actvivity. 3. David Hume (1711–1776) Hume berpendapat bahwa tingkah laku manusia (baik benar atau salah) dipengaruhi dan didorong oleh passion. Hume juga mencetuskan pandangannya mengenai emosi, yaitu jenis sensasi (disebut kesan) yangs secara fisik dirangsang oleh insting. Kesan atau emosi tersebut bisa dalam konteks positif (menyenangkan) atau konteks negatif (tidak menyenangkan). Ide atau gagasan merupakan hal terpenting dalam pembentukkan kesan (atau emosi). Contohnya, kesan menyedihkan muncul karena adanya gagasan bahwa gagal mencapai suatu hal itu adalah hal yang buruk. Hume menyatakan bahwa kesan yang telah terbentuk sebelumnya akan

  1. William James (1884) James (1884) menekankan sifat fisiologis emosi yang menjelaskan bahwa emosi atau serangkaian sensasi merupakan gangguan fisiologis yang didorong oleh beberapa persepsi.

  2. Dan Lain-Lain Franz Brentano (1874-1971), mengemukakan sikap di atas dasar emosi. Selanjutnya, Paul Ricoeur (1950-1966) yang mengembangkan filosofi ambisius dan menempatkan emosi sebagai sentral dalam keberadaan manusia. Ada Heiddeger yang mengemukakan pendapat tentang mood. Lalu, Jean Paul Sartre yang menjelaskan tentang The Emotion Sketch of a Theory (1939-1948), yaitu adanya transformasi magis untuk menghadapi keadaan dunia yang sulit. Terakhir, Errol Bedford (1956-

  1. yang menyataan bahwa emosi merupakan suatu bentuk perasaan. Banyaknya teori mengenai emosi menemukan benang merah bahwa emosi berfokus pada struktur konseptual dari aspek sensorik, sosial, dan fisiologis emosi. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai emosi, muncul hiperkognisi emosi atau usaha serius untuk menggabungkan kekuatan psikolog, neurolog, antropolog, dan filsuf moral untuk mendapatkan teori emosi yang holistik.

2.1 Some Philosophical Questions about Emotion “Apa itu emosi?” Banyak filsuf yang berkiblat pada pandangan Cartesian yang menyatakan bahwa emosi berasal dari aspek subjektif atau introsspektif. Meskipun, lama-kelamaan, banyak filsuf yang menjadi skeptis tentang esensialisme subjektif tersebut. Oleh karena itu, para filsuf mencoba merumuskan sendiri teori mengenai perilaku, fisiologisme, dan konstruksi sosial. William James (1884) menyatakan bahwa perasaaan merupakan jenis sensasi yang dapat ditentukan dan disebabkan oleh gangguan viseral yang terjadi karena perubahan dalam tubuh yang berasal dari sistem saraf otonom. Keutamaan dari teori ini adalah perasaan terikat dengan emosi akan menghasilkan respons dari tubuh.

Namun, teori ini tidak sepenuhnya tepat karena sulit untuk memastikan seberapa spesifik hubungan antara perasaaan emosional dengan proses fisiologis.

Perasaan memiliki struktur khas yang muncul dari dalam pikiran kemudian diekspresikan melalui emosi. Dengan demikian, kita harus mengidentifikasi emosi yang berasal dari pengalaman. Selain itu, pengalaman terkait emosi bukan hanya sensasi, tetapi kesadaran kompleks tentang keterlibatan seseorang di dunia dan kecenderungan seseorang bertindak di dalamnya. Kemajuan di bidang neuorologis telah mengungkapkan pola struktural yang menjelaskan bahwa di dalam sistem saraf pusat menghasilkan reaksi emosional tertentu. Dengan demikian, filsuf tidak bisa mengabaikan literatur neoro-fisiologis mengenai emosi. Namun, filsuf masih skeptis tentang pergeseran secara tersirat dalam konsep emosi ke gejala emosi. Emosi bukan sesuatu yang diungkapkan dan filsuf cenderung menyatakan bahwa emosi adalah ekspresi dari perilaku.

Secara umum para filsuf telah sepakat bahwa emosi memiliki unsur kesengajaan. "Intentionality" atau kesengajaan secara umum dapat diartikan bahwa emosi selalu tentang sesuatu (Contoh: selalu marah tentang sesuatu; selalu jatuh cinta dengan seseorang atau sesuatu; selalu takut sesuatu). Dengan demikian, kita dapat memahami objek dari emosi merupakan suatu kesengajaan, yang mana jenis objek tersebut (peristiwa, orang, atau keadaan) harus diarahkan jika akan dijadikan suatu emosi tertentu. Namun, selama lebih dari satu abad, kesengajaan telah menjadi kekhawatiran para filsuf karena memiliki keunikannya sendiri (Kenny, 1963; Pada, 1983, Searle, 1983). Banyak filsuf yang menerima gagasan kesengajaan, tetapi mencoba untuk mengintegrasikannya menjadi analisis emosi neo-Jamesian sebagai fisiologi dengan sensasi, menggunakan teori kausal persepsi yang rumit (Prinz, 2004). Para filsuf juga cukup terganggu dengan fakta bahwa emosi mungkin saja merupakan imajinasi atau objek yang tidak ada, seperti objek yang menimbulkan emosi takut mungkin saja sebenarnya tidak ada. Beberapa dekade terakhir, banyak filsuf analitik membuat gagasan tentang intensionalitas menjadi gagasan yang lebih dapat dikelola (Dennett, 1978, 1991).

1943/1956) mengemukakan bahwa emosi adalah pilihan dan strategi, tetapi banyak filsuf yang tidak setuju dengan gagasan Sartre yang menyatakan bahwa emosi bisa diatasi. Apakah kita berbelas kasihan pada emosi kita? Apakah kita hanya memiliki emosi? Atau kita dapat mengembangkannya dan melakukannya sendiri? Banyak etika dan sikap kita terhadap diri kita tergantung pada hal ini. Penelitian emosi dalam filosofi bukanlah disiplin terpisah, tetapi inti penyelidikan kita pada diri kita sendiri. Socrates menjadikan "mengenal dirimu" sebagai moto dan perintah yang agak ekstrim bahwa kehidupan yang tidak diperiksa tidak layak untuk hidup. Akan tetapi, sebagian dari pengetahuan itu adalah pemahaman dan penghargaan untuk emosi kita dan yang membuat kita layak untuk hidup.

2 History of Emotions Studi mengenai emosi mulai muncul di Eropa Barat setelah Reformasi Protestan. Pada saat itu, suasana melankolis sangat disorot karena ini dianggap sebagai sikap religius yang tepat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kejahatan dan dosa di dunia ini. Lukisan kerap memiliki unsur melankolis dan diary sering kali menceritakan tentang kegelapan dan kesedihan. Suasana ini mulai berubah pada abad ke-18 saat orang Barat modern menggalakkan ‘cheerfulness’ (keceriaan). Nilai-nilai Kristiani disusun kembali secara bertahap, dengan sikap tersenyum dianggap sebagai penghormatan yang pantas kepada Tuhan. Sinyal komersial memperoleh kekuatan baru, dengan barang-barang material dipandang sebagai penghasil kebahagiaan, dan watak ceria sebagai yang paling cocok untuk transaksi bisnis yang sukses. Pada akhir abad ke-20, Amerika menguatkan gagasan tentang keceriaan. Keceriaan telah memengaruhi hubungan perburuhan serta interaksi komersial, pekerja diharapkan untuk menunjukkan keceriaan sebagai bukti kelayakan kerja mereka. Keceriaan juga mempengaruhi kontak lintas budaya. Keceriaan orang Amerika memiliki sisi negatif, mereka memaksakan keceriaan itu sendiri hingga tingkat depresi relatif tinggi dalam populasi secara keseluruhan (Kotchemidova, 2005). Sejarah mampu berkontribusi dalam mengidentifikasi tren baru emosi serta menelusuri evolusinya, seperti menentukan hubungan antara standar budaya dengan

pengalaman emosional pribadi, memberikan indikasi sebab akibat yang kuat (terkait dengan pergeseran budaya), munculnya konsumerisme, serta mendemonstrasikan pengaruh, baik di ruang publik ataupun kehidupan yang lebih pribadi. Standar emosi telah berkembang dengan baik sejak dulu, tetapi analisis historis menunjukkan peningkatan dan perluasan konsekuensi dari standar itu sendiri bahkan saat terbentuknya kehidupan emosional kontemporer. Dalam hal ini bisa dikatakan penekanan Amerika kontemporer pada keceriaan tidak dapat dipahami secara baik tanpa adanya kontribusi historis. Sejarah tentang emosi sudah berusia dua dekade dan terus berkembang pesat, proses perubahan standar emosional, pengalaman emosional, atau dengan kontinuitas emosional saat adanya perubahan konteks. Sejarawan mungkin juga tertarik pada fokus berikut: berusaha memahami karakteristik gaya emosional pada periode tertentu, dari diri mereka sendiri, sebagai sarana untuk memperkaya penggambaran masa lalu dan meluncurkan proses membandingkan satu periode sebelumnya dengan periode lain. Tujuan penyelidikan pada akhirnya berpusat pada perubahan, baik dalam emosi itu sendiri atau di lingkungan tempat emosi berlangsung. Sesuai dengan hal itu, menambahkan sejarah ke daftar disiplin ilmu yang secara serius terlibat dalam penelitian emosi adalah hal yang tepat. Karena jika emosi berubah dengan cara yang signifikan dan sejarawan serta orang lain telah menunjukkan bahwa mereka melakukannya, maka prosesnya harus diatasi sebagai bagian dari evaluasi ekspresi emosional. Perubahan pada variabel yang terlibat dalam penelitian emosi berarti menambah kompleksitas, namun berarti memberikan perspektif penting untuk menilai hasil penelitian ilmu sosial lainnya tentang emosi, seperti temuan yang berasal dari sosiologi dan antropologi. Penyelidikan tentang perubahan melibatkan penetapan garis dasar, sehingga tren baru dapat dievaluasi secara hati-hati terhadap standar yang ada pada masa lalu, bukan diasumsikan atau dibayangkan, tugas yang ditangani dengan baik oleh para sejarawan. Ini melibatkan menilai penyebab perubahan dan juga hasilnya, dalam kehidupan emosional pribadi dan juga di lembaga yang lebih besar (seperti hukum, pendidikan, media, atau proses politik).

Di akhir tahun 1970-an banyak studi yang menentang aspek emosional dalam family history seperti ahli dari Perancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Utara. Perkembangan emosi banyak dibahas oleh para ahli pada tahun 1970-an, banyak aspek yang dibahas mulai dari perubahan emosional, familial emotion, fear, dan sebagainya.

2.2 A Maturing Field Sejarah emosi terus berkembang ditahun 1980-an. Penemuan-penemuan baru tentang emosi terus berkembang dan menyempurnakan penemuan sebelumnya. Semakin banyak sejarawan sosial yang mempelajari emosi dalam dan dari dirinya sendiri. Sejarawan sosial juga memperluas cakupan emosi seperti love and fear, anger, envy, jealousy, shame, guilt, grief, disgust, sadness, cheerfulness dan nostalgia. Peneliti Amerika juga telah menghubungkan emosi dengan tempat kerja, agama, dan sebagainya untuk mencerminkan bentuk emosi-emosi baru. Penggunaan teori yang lebih baik ikut berperan dalam pengembangan sejarah emosi. Sejarawan menggunakan temuan Jerome Kagan (1979) tentang pengasuhan anak dapat memahami bahwa disiplin fisik yang parah di masa lalu, yang pernah dianggap sebagai tanda jarak emosional, sebenarnya sebagai bentuk kasih sayang yang nyata. Selanjunya beberapa revisionis mulai berpendapat bahwa hubungan emosional tertentu tidak berubah atau konsisten. 2.2 Issues Of Range and Of Theory Tingginya ketertarikan mengenai sejarah emosi menghasilkan banyak penelitian. Salah satunya, penelitian mengenai emosi marah. Menurut Solomon (dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011), dalam sejarah Maoisme, adanya rekofiguasi emosional di pihak petani untuk melepaskan rasa marah untuk memicu terjadinya revolusi. Selain itu, penelitian mengenai emosi pada masa kanak-kanak juga berimplikasi pada sejarah emosi ini. Para sejarawan Amerika juga mencetuskan ide bahwa ada peran khusus psikologi dalam membentuk kehidupan emosional nasional (Pfister & Schnog, dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011). Namun, tetap ada

kesenjangan yang memengaruhi hubungan antara temuan sejarah dan penelitian di bidang lain seperti psikologi.

2.2 Key Changes of Western Society Penelitian imajinatif tentang kaum tani Jerman telah menemukan adanya gejala perubahan emosional setelah 1500 (Sabean, dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011). Penelitian lainnya dilakukan oleh John Demos (dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011), yang meneliti pergeseran rasa malu (dalam konteks anak-anak) dan menjadi rasa bersalah ketika dewasa. Rasa bersalah ini juga digunakan untuk menginternalisasi suatu perilaku karena dianggap lebih tepat dibandingkan mempermalukan di hadapan publik. Penelitian mengenai keseimbangan antara kebahagiaan dan kesedihan juga menambah daftar panjang kemegahan penelitian mengenai emosi saat itu. Alain Corbin (Lewis, Jones, & Barret, 2011) meneliti emosi jijik. Hal itu dikarenakan orang Prancis dari abad ke-18 dan seterusnya mulai menunjukkan rasa jijik yang intens pada berbagai objek baru. Penelitian tentang sejarah emosi abad ke-19 menjadi semakin aktif. Munculnya penelitian mengenai rasa cemburu membuat para peneliti mencoba mendefinisikan ulang kata ‘kecemburuan’. Dilansir dari Lewis, Jones, & Barret (2011), kecemburuan diartikan sebagai emosi yang dimiliki sebagian besar perempuan dan merupakan hal yang egois. Adanya penelitian mengenai rasa duka yang disebabkan oleh pemakaman Victoria (Houlbrooke, dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011). Penelitian mengenai penaklukan rasa takut didefinisikan ulang untuk memenuhi tujuan identitas gender (Stearns, 2006). Ada dua pendekatan utama terkait penelitian pada abad ke-20. Pertama, informalitas emosional dan liberalisasi yang nyata. Aturan ekspresi emosional menjadi lebih kompleks da nada suatu penilaian mengenai kepribadian emosional yang sesuai dengan interaksi individu (de Swann; Wouters; Gerhards, dalam Lewis, Jones, & Barret, 2011). Kedua, pendekatan ini menyatakan bahwa abad ke- merupakan periode perubahan yang cukup besar dan masuk akal dalam standar emosional. Pendekatan ini menekankan bahwa mengelola emosi lebih efektif dengan

Was this document helpful?

The Philosophy of Emotions and History of Emotions

Course: Teori Emosi dan Aplikasi

18 Documents
Students shared 18 documents in this course
Was this document helpful?
Makalah Teori Emosi dan Aplikasi
The Philosophy of Emotions & History of Emotions:
Issues of Change and Impact
Dosen Pengampu:
Septi Mayang Sarry, M.Psi., Psikolog
Disusun Oleh:
Kelompok 1
1. Iffa Fadhila Hafsah (1910321001)
2. Putri Oktaviani (1910321005)
3. Sindria Melani (1910321029)
4. Putri Tri Marta (1910321034)
5. Kamelia Putri (1910322011)
6. Ricky Nanda Saputra (1910322033)
7. Puti Bidara Suri (1910323003)
Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
2020