- Information
- AI Chat
Jurnal DILI - drug induced liver injury
medicine (2022)
Universitas Indonesia
Preview text
ARTICLE REVIEW
AbsTRAK
Address for corespondance : Ivan Banjuradja 1 , Gurmeet Singh 2 email: ivanbanjuradja@gmail **email: gurmeetsingh10@yahoo
How to cite this article : MEKANIsME HEPATOTOKsIsITAs DAN TATALAKsANA TUbERKULOsIs PADA GANGGUAN HATI
MEKANIsME HEPATOTOKsIsITAs DAN TATALAKsANA TUbERKULOsIs
PADA GANGGUAN HATI
Ivan banjuradja 1 , Gurmeet singh 2 1,2Respirology and Critical Illness Division, Internal Medicine Department, Universitas Indonesia, Faculty of Medicine. Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia.
Abnormalitas fungsi hati merupakan efek samping tersering pemberian regimen obat anti tuberkulosis (OAT)
standar dimana menyebabkan 11% penghentian pemberian OAT pada pasien tuberkulosis (TB). Hepatotok-
sisitas terutama berhubungan dengan pemberian isoniazid (INH), rifampisin (RIF) dan pirazinamid (PZA)
pada golongan OAT lini pertama. Manifestasi hepatotoksisitas bervariasi antara hanya berupa abnormalitas
fungsi hati sampai kejadian gagal hati akut. Adapun pedoman tatalaksana TB dengan cedera hati akibat OAT
sebagian besar masih didasarkan pada opini ahli. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai meka-
nisme kelainan hati akibat OAT, tatalaksana penghentian, mekanisme reintroduksi OAT pada pasien-pasien
yang mengalami kelainan fungsi hati, dan tatalaksana pengobatan pada pasien TB dengan riwayat gangguan
fungsi hati sebelumnya.
Kata kunci: obat anti tuberkulosis, hepatotoksisitas
AbsTRACT
The abnormalities of liver function are the most common antitubercular side effect, which resulted in 11%
drug discontinuation. Hepatotoxicity was mainly associated with the isoniazid (INH), rifampicin (RIF), and
pyrazinamide (PZA) administration. The manifestation of hepatotoxicity was greatly varies, from asymptom-
atic abnormal liver function test to disastrous acute liver failure. Most of the recommendation for the manage-
ment of liver injury related to antitubercular are based on expert opinion. This literature review will discuss
the mechanism of antitubercular inducing liver injury, diagnostic work up, reintroduction of antitubercular,
and management of tuberculosis in patients with previous liver dysfunction history.
Keywords: antitubercular, hepatotoxicity
Pendahuluan Saat ini Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan kasus TB terbanyak di dunia, dengan insidensi total sebesar 845. kasus. 1 Salah satu upaya untuk memberantas TB adalah memastikan pemberian OAT pada individu yang terdiagnosis. 2 Regimen OAT standar yang direkomendasikan pada TB sensitif obat terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA), dan etambutol (ETH). Regimen kombinasi OAT yang diberikan selama minimal 6 bulan ini telah menjadi terapi standar TB tanpa resistansi selama 30 tahun terakhir, Gangguan fungsi hati adalah efek samping tersering akibat pemberian regimen OAT standar. Hepatotoksisitas terutama berhubungan dengan pemberian INH, RIF dan PZA. 5 Manifestasi hepatotoksisitas dapat bervariasi dari hanya berupa abnormalitas laboratorium fungsi hati sampai gagal hati akut. 3 Hepatotoksisitas sendiri menjadi penyebab tertinggi penghentian konsumsi OAT, yaitu sebesar 11%. 4 Ironisnya pedoman tatalaksana cedera hati yang diinduksi OAT/drug induced liver injury (DILI) sebagian besar masih didasarkan pada opini ahli. Di antara pedoman-pedoman tersebut
juga didapatkan perbedaan terutama dalam hal pendekatan diagnosis, waktu menghentikan OAT, dan mekanisme melakukan reintroduksi OAT. 6
Fisiologi Hati dalam Metabolisme Obat Hati merupakan organ yang terletak di antara saluran cerna dan sirkulasi sehingga berperan meminimalisir pajanan zat kimia toksik, termasuk obat-obatan. Sirkulasi splangnik akan membawa senyawa obat yang sebagian besar bersifat lipofilik ke hati. Fungsi ini dikenal sebagai fenomena first pass metabolism melalui peran kelompok enzim sitokrom P450 yang mampu mengkonversi senyawa obat melalui proses oksidasi, reduksi, atau hidrolisis, dimana mengubah molekul lipofilik menjadi molekul yang lebih bersifat polar/ hidrofilik. Hasil dari metabolisme fase pertama adalah senyawa yang akan disekresikan ke sirkulasi sistemik sebagai metabolit aktif. Metabolisme dilanjutkan melalui fase kedua yang terdiri dari proses glukoronidasi, sulfasi, asetilisasi, dan konjugasi glutation. Hasil dari proses metabolisme ini adalah senyawa obat yang siap untuk dieksresikan,
Gambar 1. Metabolisme Obat Intra Hepatik 8
Mekanisme Kerja, Metabolisme, dan Hepatotoksisitas Isoniazid Isoniazid dapat menghambat sintesis asam mikolat Mycobacterium tuberculosis (MTb), dimana merupakan komponen penting pada
dinding sel MTb yang menentukan kesintasan bakteri,10 Obat ini juga mampu mengganggu sintesis dan metabolisme DNA, lipid, karbohidrat, nicotinamide adenine dinucleotide (NAD). 11 Metabolisme utama
terhadap mitokondria, apoptosis sel hati, akumulasi lipid intrahepatik, dan kolestasis. Kebanyakan toksisitas hati muncul saat pemberian RIF dan INH secara simultan. Hal ini diperkirakan karena RIF dapat menginduksi reaksi hidrolisis INH membentuk senyawa hidrazin yang bersifat hepatotoksik,
Gambar 4. Mekanisme kerja Rifampisin 15
Mekanisme Kerja, Metabolisme, dan Hepatotoksisitas Pirazinamid Pirazinamid memiliki efek hepatotoksik yang bergantung dosis. 9 Enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme PZA adalah deamidase mikrosomal dan xantin oksidase. Di hati PZA akan dimetabolisme menjadi asam pirazinoat (POA) oleh enzim deamidase mikrosomal. Selanjutnya POA akan diubah menjadi asam hidroksipirazinoat / hydroxypyrazinoic acid (5-OH-POA) oleh xantin oksidase. 9 Pirazinamid masuk ke lingkungan intrasel bakteri secara difusi pasif dan diubah menjadi POA oleh enzim pirazinamidase bakteri. Molekul POA kemudian berdifusi pasif ke ekstrasel dan jika pH lingkungan bersifat asam, maka sebagian kecil dari POA akan berubah menjadi HPOA dan kembali masuk ke intrasel MTb. Akumulasi molekul HPOA menyebabkan asidifikasi lingkungan intrasel, inhibisi enzim- enzim vital bakteri, dan sintesis protein serta RNA. 17
Gambar 5. Mekanisme Bakterisidal Pirazinamid 17
Sebuah studi hewan percobaan oleh Shih et al menunjukkan metabolit POA dan 5-OH-POA lebih bersifat toksik terhadap sel-sel HepG2. Selain itu didapatkan hubungan antara peningkatan rasio metabolit 5-OH-POA dan POA dengan kejadian cedera hati. Hal ini mendukung hipotesis bahwa metabolit- metabolit tersebut adalah penyebab utama hepatotoksisitas yang disebabkan pemberian PZA. 18
Faktor Risiko Cedera Hati Imbas Obat Anti Tuberkulosis Faktor risiko DILI akibat OAT dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang berhubungan dengan obat dan pasien sendiri. Mayoritas pasien TB diobati dengan regimen kombinasi, sehingga sulit untuk mengestimasi insidensi hepatotoksisitas masing-masing OAT. Sebagian besar pengamatan didapatkan melalui observasi pengobatan TB laten. Telah diuraikan sebelumnya bahwa INH, RIF, dan PZA meningkatkan risiko hepatotoksisitas baik jika diberikan secara monoterapi maupun kombinasi. 4
Berbagai faktor risiko terkait host juga telah diketahui berhubungan dengan hepatotoksisitas OAT. Usia diketahui sebagai faktor risiko DILI akibat OAT. Usia lebih dari 60 tahun diketahui dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas sebesar 3,5 kali lipat. Studi lain menunjukkan PZA meningkatkan risiko cedera hati sebesar 2,6 kali lipat pada usia lebih dari 60 tahun. Peningkatan usia berhubungan dengan penurunan aliran darah hati disertai dengan perubahan metabolisme obat, sehingga berpotensi menurunkan efektivitas klirens obat,7 Jenis kelamin
perempuan risiko cedera hati meningkat 4 kali lipat. Hal ini dianggap diakibatkan aktivitas enzim CYP3A yang lebih tingi pada perempuan. Malnutrisi juga berhubungan dengan tingginya insidensi hepatotoksisitas OAT. Asupan nutrisi adekuat penting untuk mempertahankan integritas fungsi metabolisme dan detoksifikasi hati dimana aktivitas sistem enzim sitokrom P dipengaruhi oleh asupan nutrisi, puasa, dan kondisi malnutrisi. 4
Infeksi kronik virus pada hati berpotensi menyebabkan kerusakan hati berat pada pemberian OAT. Hepatotoksisitas OAT secara signifikan terjadi lebih tinggi pada pasien Hepatitis B kronik dibandingkan yang tidak (16% vs 4,7%, p<0,001). Derajat kerusakan hati juga jauh lebih berat dan berhubungan dengan jumlah virus pada saat inisiasi OAT. Mirip dengan infeksi Hepatitis B kronik, pada pengidap Hepatitis C kronik yang mendapatkan terapi OAT didapatkan peningkatan risiko sebesar 5 kali lipat dimana derajat kerusakan hati juga berhubungan dengan jumlah virus yang ada. 4 Infeksi HIV juga meningkatkan risiko DILI akibat OAT. Interaksi ARV dengan OAT, sindrom rekonstitusi imun, dan koinfeksi virus hepatitis diperkirakan dapat meningkatkan risiko DILI. Infeksi virus HIV sendiri meningkatkan risiko hepatotoksisitas OAT sebesar 4 kali lipat,
Ras Asia memiliki risiko 2 kali lipat untuk mengalami DILI akibat INH dibandingkan ras kaukasia dan 14 kali lipat dibandingkan ras kulit hitam. Suseptibilitas genetik berperan
terhadap hepatotoksisitas OAT. Polimorfisme nukleotida pada gen pengkode enzim-enzim metabolisme obat seperti NAT2, CYP2E1, dan ABCC1 dapat menyebabkan akumulasi metabolit reaktif serta penurunan klirens OAT. 4 Polimofisme lokus gen NAT2 berlokasi pada kromosom 8p22 dimana fenotip asetilator lambat memiliki risiko hepatotoksisitas lebih tinggi. Polimorfisme gen CYP2E1 pada kromosom 10q24 berhubungan dengan peningkatan produksi hepatotoksin yang lebih tinggi. 5 Polimorfisme gen aktivitas antioksidan seperti BACH1, MAFK, GST1, dan MnSOD kemungkinan juga menentukan predisposisi seseorang terhadap hepatotoksisitas akibat OAT. 4 Defisiensi aktivitas GST diketahui mempengaruhi aktivitas antioksidan glutation terhadap radikal bebas dan meningkatkan risiko hepatotoksisitas INH, terutama pada ras Asia (OR 2,23). 5
Pendekatan Diagnosis Kerusakan Hati yang Diinduksi Obat Anti Tuberkulosis Kerusakan hati yang diinduksi OAT sejatinya merupakan diagnosis per eksklusionam, dimana penyebab-penyebab cedera hati lain harus disingkirkan terlebih dahulu. Pemeriksaan histopatologi biasanya tidak diperlukan. Onset DILI akibat OAT biasanya dalam 1 bulan dimulainya terapi. Peningkatan lebih dari 2 kali lipat alanin aminotransferase (ALT) pada saat reintroduksi obat yang dicurigai, serta penurunan ALT pasca penghentian obat tersebut mengkonfirmasi diagnosis. 7 Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa pola cedera hati yang dapat terjadi akibat pemberian OAT. 5
Tabel 1. Pola Kerusakan Hati akibat OAT 5 Pola Kerusakan Hati Gambaran Hasil Pemeriksaan Penunjang Pola adaptasi hepatik Peningkatan ringan enzim-enzim hati Hiperbilirubinemia terisolasi Peningkatan kadar bilirubin Hepatitis Rasio peningkatan ALT dan ALP > 5 Kolestasis Rasio peningkatan ALT dan ALP < 2 Campuran / mixed type Rasio peningkatan ALT dan ALP diantara 2-
Adanya ikterik (hiperbilirubinemia > 2 kali ULN) dan peningkatan ALT (>3 kali ULN) berhubungan dengan prognosis yang tidak baik, yaitu tingkat mortalitas sebesar 10%. Prediktor yang dikenal sebagai Hy’s Law ini
memiliki spesifisitas dan nilai prediksi negatif yang tinggi (92% dan 99%) terhadap kejadian gagal hati akut-
derajat gangguan fungsi hati yang ada sebelum memulai pemberian OAT. Pada penyakit hati kronik diperlukan penentuan derajat severitas penyakit sesuai kriteria Child-Pugh. Derajat severitas ini selanjutnya dapat menjadi dasar pertimbangan pemberian regimen OAT yang dimodifikasi. Selain itu adanya peningkatan
kadar enzim ALT lebih dari 3 kali ULN sebelum terapi OAT diberikan juga menjadi salah satu pertimbangan modifikasi pada regimen OAT. Regimen modifikasi yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 3. 4
Tabel 3. Regimen OAT pada Kondisi Kelainan Hati 4 Regimen Daftar Obat Anti Tuberkulosis Durasi
2 OAT hepatotoksik
INH+RIF+ETH 9 bulan INH+RIF+Streptomisin+ETH dilanjutkan INH+RIF
2 bulan 6 bulan RIF+PZA+ETH 6-9 bulan
1 OAT hepatotoksik INH+ETH+StreptomisinDilanjutkan INH+ETH 2 bulan10 bulan
Tanpa OAT hepatotoksik ETH+Fluorokuinolon+Streptomisin 18-24 bulan
Tabel 4. Tatalaksana DILI akibat OAT berdasarkan masing-masing pedoman 22 sumber Pedoman
Waktu Reintroduksi OAT
Regimen OAT yang diberikan
Rekomendasi pemantauan fungsi hati saat reintroduksi OAT
Tatalaksana rekurensi DILI
ATS ALT < 80 IU/L
RIF +/- EMB (dosis penuh) Setelah 3 - 7 hari mulai INH (dosis penuh) PZA hanya jika DILI ringan
Periksa ALT 3- hari pasca pemberian kembali INH
Hentikan obat terakhir yang ditambahkan
BTS ALT dalam rentang normal
STR + EMB (jika secara klinis penyakit berat atau pewarnaan BTA positif dalam 2 minggu dimulainya pengobatan) INH (titrasi setiap 2-3 hari) RIF(titrasi setiap 2-3 hari) PZA (titrasi setiap 2-3 hari)
Pemantauan pemeriksaan fungsi hati harian
Hentikan obat yang menyebabkan munculnya kembali DILI. Pemberian regimen alternatif disesuikan dengan pendapat ahli.
ERS, WHO, IUATLD
Pemeriksaan fungsi hati dalam rentang normal
Mulai semua obat dalam dosis penuh
Pemantauan pemeriksaan fungsi hati (tidak ada rekomendasi mengenai frekuensi)
Hentikan seluruh obat, mulai pemberian Streptomisin + Etambutol dan mulai OAT lain satu-persatu
HKTBS Tidak disebutkan
Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan
Tatalaksana Tuberkulosis pada Hepatitis Akut Pada pasien hepatitis akut yang terdiagnosis TB, pemberian OAT dapat ditunda hingga hepatitis akut perbaikan. Pada kondisi penyakit TB yang berat makan pemberian regimen tanpa OAT hepatotoksik dapat dipertimbangkan. Pasca hepatitis perbaikan maka kebanyakan regimen OAT tanpa modifikasi dapat diberikan secara bertahap secara aman. 25
Tatalaksana Koinfeksi Tuberkulosis dengan Virus Hepatitis b Kronik Koinfeksi TB dengan hepatitis B kronik dapat umum ditemukan pada praktik sehari-hari. 30 Monoterapi INH pada TB laten pada dasarnya dianggap aman untuk diberikan. Sedangkan pemberian kombinasi OAT berhubungan dengan risiko kejadian penyakit hati fulminan dan peningkatan mortalitas. 26 Diperlukan skrining HBsAg pada semua pasien TB
sebelum terapi OAT diberikan. Pada kelompok dengan HBsAg positif maka pemeriksaan serologi infeksi dan pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan. Pada kelompok TB dengan karier virus hepatitis B (HBsAg positif, HBeAg negatif, kadar HBV-DNA rendah, dan ALT normal persisten) maka pemberian regimen OAT standar dapat diberikan. Karena risiko hepatotoksisitas berat dapat terjadi, maka diperlukan pemantauan fungsi hati yang lebih ketat. Apabila hepatotoksisitas muncul maka pemberian OAT dihentikan dan dimodifikasi dengan regimen tanpa agen hepatotoksik. 26 Pada kelompok pasien TB dengan replikasi virus hepatitis B yang aktif dipertimbangkan pemberian analog nukleosida sebelum terapi OAT dimulai untuk mencegah munculnya hepatotoksisitas yang berat, Pada sebuah laporan kasus dilaporkan pemberian terapi lamivudin dapat memberikan keberhasilan tatalaksana TB dengan INH dan dan RIF pada pasien dengan TB dan koinfeksi hepatitis B. 25
Tatalaksana Koinfeksi Tuberkulosis dengan Virus Hepatitis C Kronik Monoterapi OAT dengan INH pada kasus TB laten tidak meningkatkan kejadian DILI. Namun pada pemberian regimen kombinasi OAT didapatkan peningkatan kejadian cedera hati sebesar 5 kali lipat. Kejadian efek samping ini meningkat menjadi 14 kali lipat apabila selain menderita hepatitis C kronik, juga terdapat koinfeksi dengan HIV. 25
Mekanisme peningkatan risiko diperkirakan diakibatkan steatosis hati akibat virus hepatitis C dimana akan mencetuskan apoptosis hepatosit dan memfasilitasi proses inflamasi dan fibrosis. 28 Sampai saat ini pada pasien hepatitis C kronik yang menderita TB dapat diberikat OAT dengan regimen standar disertai pemantauan fungsi hati yang dilakukan secara berkala. Apabila terjadi cedera hati maka OAT dapat dihentikan sampai fungsi hati kembali normal dan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan reintroduksi secara bertahap. 25
Tatalaksana Tuberkulosis dengan sirosis Hati Berbagai literatur dan pedoman menyarankan tidak diberikannya PZA pada pasien-pasien dengan sirosis hati, terutama sirosis hati dekompensata. Pada kondisi TB berat dan memiliki indikasi pemberian PZA, maka disarankan pertimbangan pemberian dosis lebih rendah yaitu 15-30 mg/kg/hari dimana secara signifikan memiliki risiko hepatotoksisitas yang lebih rendah. Berdasarkan risiko ini maka pemberian OAT pada pasien TB dengan sirosis hati memerlukan pertimbangan seksama dimana pada pasien-pasien dengan sirosis hati yang terkompensasi maka dapat dipertimbangkan pemberian regimen OAT dengan 2 obat hepatotoksik. Namun pada pasien-pasien TB dengan sirosis hati dekompensata maka tidak disarankan pemberian regimen yang mengandung agen hepatotoksik. 25
Tabel 5. Regimen OAT Berdasarkan Derajat Berat Sirosis Hati25, skor CTP Regimen OAT < 8 Regimen mengandung 2 OAT hepatotoksik direkomendasikan Hindari pemberian PZA 8-10 Regimen mengandung 1 OAT hepatotoksik direkomendasikan. RIF lebih disarankan dibandingkan INH. PZA tidak boleh diberikan >10 Direkomendasikan pemberian regimen tanpa OAT hepatotoksik
Kesimpulan Tatalaksana infeksi MTb yang efektif bergantung pada pemberian OAT dengan dosis dan durasi yang sesuai. Pemberian regimen rekomendasi dan jangka panjang meningkatkan risiko efek samping termasuk hepatotoksisitas. Pasien-pasien dengan riwayat komorbid penyakit hati kronik sebelumnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami DILI karena OAT. Dibutuhkan penilaian seksama dan evaluasi fungsi hati berkala. Pada batas tertentu peningkatan penanda kerusakan hati dengan atau disertai gejala, mengindikasikan penghentian OAT sementara dan substitusi dengan OAT yang tidak bersifat hepatotoksik. Dengan evaluasi dan tatalaksana yang bijaksana maka
statement: Management of drug-induced liver injury in HIV-positive patients treated for TB. S Afr J HIV Med. 2013;14:113-9. 23. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Chemotherapy and management of tuberculosis in the United Kingdom: Recommendations 1998. Thorax 1998;53(7):536-548. 24. Sharma SK, Singla R, Sarda P, Mohan A, Makharia G, Jayaswal A. Safety of 3 different reintroduction regimens of antituberculosis drugs after development of antituberculosis treatment-induced hepatotoxicity. Clin Infect Dis. 2010;50:833-9. 25. Dhiman RK, Saraswat VA, Rajekar H, Reddy C, Chawla YK. A guide to management of tuberculosis in patients with chronic liver disease. Journal of Clinical and Experimental Hepatology. 2012;2:260- 70. 26. Patel ND, Singh SP. Antituberculosis therapy in patients with hepatitis B viral infection. Hepatitis B Annual. 2012;16- 27. Chen L, Bao D, Gu L, Gu Y, Zhou L, Gao Z, et al. Co-infection with hepatitis B virus among tuberculosis patients is associated with poor outcomes during anti- tuberculosis treatment. BMC Infect Dis. 2018;18. Available at: doi/10.1186/s12879-018-3192- 28. Kim WS, Lee SS, Lee CM, Kim HJ, Ha CY, Kim HJ, et al. Hepatitis C and not hepatitis B virus is a risk factor for anti- tuberculosis drug induced liver injury. BMC Infect Dis. 2016;16:1-12. 29. Kumar N, Kedarisetty CK, Kumar S, Khillan V, Sarin SK. Antitubercular therapy in patients with cirrhosis: challanges and options. World J Gastroenterol. 2014; 20: 5760-72.