Skip to document

Balance Score CARD (BSC)

MANAJEMEN STRATEGI DALAM SDM
Academic year: 2021/2022
Uploaded by:
Anonymous Student
This document has been uploaded by a student, just like you, who decided to remain anonymous.
Universitas Negeri Malang

Comments

Please sign in or register to post comments.

Preview text

BALANCE SCORE CARD (BSC) DAN IMPLEMENTASINYA DALAM

PERENCANAAN PENDIDIKAN ISLAM

Lukman Sholeh, M. Ma’ruf Al-Arif Program Study Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Lukmansholeh211199@gmail,alaarifmaruf@gmail ABSTRACT This study aims to determine the concept of the balanced scorecard in strategic management. The balanced scorecard education has now been transformed into a management assessment model that is believed to be able to boost performance for the better. In the era of globalization that is increasingly liberal as it is now, it is hard to deny, the increasingly high market demands are very important things to anticipate. If not, surely existence will be crushed by the might of the competitors. The Balance Scorecard application starts from its roots, namely learning and growth, which contributes to internal business processes, so that customers become satisfied and in the end the company will benefit which is reflected in financial performance. Finally, the ability to meet targets for financial, customer and internal business process objectives depends on the organization's ability to learn and grow. Those who enable learning and growth in particular come from three sources, namely employees, systems and organizational equity. Strategies for superior performance generally require significant investment in people, systems and processes that build organizational capabilities. As a result, goals and measures for parties that enable reliable performance in the future must be an integral part of an organization's Balanced Scorecard. Keywords : Balance Score (BSC), Planning Implementation

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep balanced scorecard dalam manajemen strategik Pendidikan balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian manajemen yang diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman globalisasi yang kian liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin tinggi menjadi hal yang sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya eksistensi akan tergilas oleh keperkasaan pihak kompetitor. Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan pertumbuhan, yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis, sehingga pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern tergantung kepada kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang memungkinkan belajar dan tumbuh khususnya berasal dari tiga sumber, yaitu pegawai, sistem dan penyetaraan organisasi. Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi. Kata Kunci : Balance Score (BSC), Implementasi Perencanaan

LATAR BELAKANG

Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam lembaga pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga pendidikan untuk mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk itu. 1 Meskipun sekarang ini sering dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu lembaga pendidikan, sumber enerji yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya. Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang akan menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan akan mampu meningkatkan mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan mutu. 2 Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di antara orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. 3 Aset yang paling berharga dari suatu lembaga pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi dan kemam-puan bekerjasama yang mereka miliki. Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan dosen, teknisi, pegawai administrasi, dan sebagainya, pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi para pimpinan mulai dari yang tertinggi sampai ke yang terrendah pemberdayaan adalah suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu organisasi yang mendambakan kualitas kinerja yang terus meningkat pemberdayaan adalah suatu proses

1 Soraya Hanuma; endang Kiswara, “ANALISIS BALANCE SCORECARD SEBAGAI ALAT PENGUKUR KINERJA PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada PT Astra Honda Motor),” Jurnal Ekonomi 9, no. 2 (2011): 109 2 – 17. Ahmed Hamdy, “Balance Scorecard Role in Competitive Advantage of Egyptian Banking Sector,” The Business and Management Review 3 9, no. 3 (2018): 9–10. S.A.C. Senarath and S.S. Patabendige, “Balance Scorecard: Translating Corporate Plan into Action. A Case Study on University of Kelaniya, Sri Lanka,” Procedia - Social and Behavioral Sciences 172 (2015): 278– 85, doi/10.1016/j.sbspro.2015.01.365.

meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah mencari bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada orang- orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan meningkatkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian kerjanya, memberi kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk memanfaatkan potensi orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk berpartisipasi meraih kinerja lembaga pendidikan yang lebih bermutu. 9 Agar mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya, dikembangkan kemauannya, dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi. Lembaga pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen atau pegawai non-edukatif seperti teknisi, laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat, petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan direncanakan dan dilaksanakan secara teratur dan profesional bagi semua jenis dan tingkatan pekerja lembaga pendidikan. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang hakekat tugas yang diembannya, meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal yang dipelajarinya. 10 Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya dan berani berinisiatif untuk mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan tambahan sulit diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan dan mencoba cara-cara baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam menerapkan MMT, pelembagaan program-program pendidikan dan pelatihan itu merupakan kebijakan yang mutlak. Menguasai kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah cukup. 11 Orang perlu memiliki kemauan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya

9 Saifhul Anuar Syahdan, RR Siti Munawaroh. 10 Youchao Tan, Yang Zhang, and Roohollah Khodaverdi, “Service Performance Evaluation Using Data Envelopment Analysis and Balance Scorecard Approach: An Application to Automotive Industry,” Annals of Operations Research 11 248, no. 1–2 (2017): 449–70, doi/10.1007/s10479-016-2196-2. Mcgee, Ii, and Out-of-balance, “Failure to Benchmark :”

agar dapat menghasilkan kinerja yang lebih bermutu. Kemauan itu ibarat motor penggerak yang mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Kemauan ini sama atau berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan mutu kinerja yang lebih baik diperlukan motivasi. 12 Sumber motivasi seseorang adalah kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu. Jelas sekali bahwa setiap individu pada suatu saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi. Untuk memenuhi kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu asalkan perbuatannya itu mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana mengkaitkan perbuatan mem-perbaiki mutu lembaga pendidikan itu dengan pemuasan salah satu atau beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Menurut Abraham Maslow 13 kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun secara hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai golongan bawah mungkin kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar pada kebutuhan fisiologis (pangan, sandang, papan, dll) dan keamanan (tabungan,dll) yang dalam kehidupan modern bisa dibeli dengan uang. Oleh karena itu untuk mereka tugas-tugas yang bisa memperoleh imbalan uang akan dikerjakan dengan lebih baik, ter-masuk tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para pegawai golongan menengah ke atas biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan lagi kebutuhan fisiologis dan keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Pemenuhan atau pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya tidak semata-mata dengan menggunakan uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan atau prestasi diri. Oleh karena itu hal-hal yang bisa memotivasi orang-orang golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak langsung meningkatkan harga dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha peningkatan mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang tersebut dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan di mana mereka bekerja, mereka merasa harga dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya untuk memenuhi kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan kemauan orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem penghargaan yang bentuknya disesuaikan dengan

12 Saifhul Anuar Syahdan, RR Siti Munawaroh, “Balance Scorecard Implementation in Public Sector Organization, A Problem?” 13 Thitirath Cheowsuwan, “The Strategic Performance Measurements in Educational Organizations by Using Balance Scorecard,” International Journal of Modern Education and Computer Science 8, no. 12 (2016): 17 – 22, doi/10.5815/ijmecs.2016.12.03.

digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja baik untuk kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di masa yang akan datang. 20 Dengan demikian, pengertian sederhana dari balanced scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal. Sejarah Balanced scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di USA oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “pengukuran kinerja dalam organisasi masa depan”. 21 Balanced scoredcard telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness. 22 BSC generasi pertama mendefinisikan empat persepktif dalam perusahaan yang harus diukur kinerjanya. Pertama, perspektif keuangan ( Financial Perspective). Balanced scorecard memakai perspektif keuangan sebagai perspektif yang terjadi akibat dari perspektif yang lain (customer, proses bisnis internal dan pembelajaran & pertumbuhan), 23 perspektif ini secara otomatis akan terwujud dari baik buruknya kinerja tiga perspektif dibawahnya. Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi perusahaan, penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi pada peningkatan yang mendasar atau tidak. Oleh karena itu persepektif keuangan tidak memiliki initiative stratetegik untuk mencapai sasaran strategic Sasaran strategic dari perspektif keuangan adalah shareholder value seperti meningkatnya ROI (Return on Investment), pertumbuhan pendapatan perusahaan, dan berkuranganya biaya produksi. Kedua, perspektif kustomer (Costumer Perspective). Pada perspektif ini, pendidikan mengidentifikasikan dan mendefinisikan pelanggan dan segmen pasarnya. 24 Perspektif ini memiliki beberapa pengukuran utama dari outcome yang sukses dengan formulasi dan penerapan strategi yang baik. Sasaran strategic dari

20 Kiswara, “ANALISIS BALANCE SCORECARD SEBAGAI ALAT PENGUKUR KINERJA PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada PT Astra Honda Motor).” 21 Ari Kristin Prasetyoningrum, “Pendekatan Balance Scorecard Pada Lembaga Amil Zakat Di Masjid Agung Jawa Tengah [The Balanced Scorecard Approach to the Amil Zakat Institution at the Great Mosque of Central Java],” Economica: Jurnal Ekonomi Islam 6, no. 1 (2015): 1 – 36, journal.walisongo.ac/index.php/economica/article/view/784. 22 Mochammad Singgih and Djoko Sulistyono, “Analisis Kinerja Strategi Bisnis Koperasi Karyawan UNTAG Surabaya Dengan Pendekatan Balance Scorecard,” INOBIS: Jurnal Inovasi Bisnis Dan Manajemen Indonesia 23 4, no. 1 (2020): 98 – 112, doi/10.31842/jurnalinobis.v4i1.169. 24 Estiasih, “Measurement of Cooperative Performance With The.” Huda, Sabrina, and Zain, “Pengukuran Kinerja Perbankan Syariah Dengan Pendekatan Balance Scorecard.”

perspektif customer ini adalah Firm equity diantaranya adalah meningkatnya kepercayaan customer atas produk dan jasa yang ditawarkan pendidikan, kecepatan layanan yang diberikan dan kualitas hubungan pendidikan dengan kustomernya. Ketiga, perspektif proses bisnis internal ( Internal Process Perspective). Fokus dalam perspektif ini adalah proses internal dari manajemen pendidikan yang harus dilakukan, yaitu proses yang berhubungan dengan penciptaan barang dan jasa sehingga dapat menarik dan mempertahankan pelanggan dilembaga pendidikan, yang akhirnya dapat memuaskan ekspektasi pemegang Lembaga pendidikan. Adalah Kaplan dan Norton dalam makalahnya yang menggagas pentingnya konsep BSC sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang menghubungkan sasaran strategis kepada indikator yang komprehensif. 25 Untuk itu diperjelas juga bahwa indikator yang digunakan harus merupakan kegiatan dan proses kegiatan inti lingkungan organisasi beroperasi. Ucapannya yang mengatakan “What you measure is what you get” menjadi premis dalam penyusunan ukuran hasil yang diharapkan. 26 Kaplan dan Norton melihat ada kelemahan kepada pengukuran kinerja yang dapat menonjolkan pencapaian tujuan secara terpisah, bahkan cenderung kompetitif yang pada akhirnya mengakibatkan konflik korporasi. Oleh karena itu dibutuhkan alasan untuk menggunakan konsep scorecard karena: 1) scorecard menyatukan alat dalam laporan manajemen yang utuh, kelemahan pandangan terhadap berbagai bidang yang dinilai bersaing: menjadi perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan, memperpendek waktu menanggapi, memperbaiki kualitas, terhadap team, mengurangi waktu meluncurkan produk, dan mengelola untuk jangka waktu panjang; 2) scorecard menjadi pedoman untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan. Sejak 1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton 27 bahkan oleh penulis lain. Demikian juga dengan bidang yang mengadopsi BSC, semakin lama semakin banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005),

25 Vicente Rodríguez Montequín et al., “A Bradley-Terry Model-Based Approach to Prioritize the Balance Scorecard Driving Factors: The Case Study of a Financial Software Factory,” Mathematics 8, no. 2 (2020), doi/10.3390/math8020276. 26 Syafaruddin Syafaruddin, Mesiono Mesiono, and Muhammedi Muhammedi, “Penyusunan Rencana Strategis Dalam Pengembangan Budaya Mutu Pendidikan Di Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh H. Abdul Halim Hasan Al Ishlahiyah Binjai,” Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 01 (2021), doi/10.30868/ei.v10i01.1497. 27 Maryam Fooladvand, Mohammad H. Yarmohammadian, and Somaye Shahtalebi, “The Application Strategic Planning and Balance Scorecard Modelling in Enhance of Higher Education,” Procedia - Social and Behavioral Sciences 186 (2015): 950–54, doi/10.1016/j.sbspro.2015.04.115.

(readiness assessment) serta membangun keselarasan (alignment) antara strategi dengan aset tak berwujud (intangible assets), yaitu human capital, information capital, serta organization capital. Ternyata, metode balanced scorecard ini mendapatkan banyak sambutan, baik di kalangan praktisi, maupun akademisi bisnis dan manajemen. 30 Pada perjalanannya, berbagai akademisi dan praktisi mengembangkan balanced scorecard sehingga menjadi lebih kaya. Bisa dikatakan, balanced scorecard mengalami perkembangan pesat, baik secara vertikal maupun horizontal. 31 Secara vertikal, balanced scorecard berkembang mulai dari tingkat korporat, sampai dengan tingkat individu (personal scorecard). Salah satu tokoh yang giat mengembangkan hal ini adalah Hubert K. Rampersad yang mengusung konsep total performance scorecard, yaitu merupakan perpaduan yang cantik antara balanced scorecard tingkat korporat dan organisasi, balanced scorecard tingkat individu, manajemen berbasis kompetensi, serta total quality management. 32 Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard berkembang ke berbagai bidang fungsional manajemen, bahkan sangat spesifik. 33 Perkembangan yang pesat ditunjukkan oleh bidang fungsional manajemen SDM, mulai sejak tahun 2001. Saat itu diterbitkan buku “The human Rresources Scorecard : Linking People, Strategy, and Performance”, yang ditulis oleh Brian E. Becker, Mark. A. Huselid, serta Dave Ulrich. Belakangan mereka membedakan antara balanced scorecard untuk sumber daya manusia organisasi (workforce scorecard) dengan balanced scorecard untuk departemen SDM (HR scorecard). 34 Ini diulas secara mendalam dalam buku mereka “The Workforce Scorecard : Managing Human Capital to Execute Strategy”, (2005). Bidang fungsional lain yang juga mengadopsi balanced scorecard adalah teknologi informasi. 35 Kerja ini dimulai oleh Ronald Saull yang mempublikasikan artikel “The IT Balanced Scorecard” pada Information Systems Control Journal, tahun

30 Syafaruddin, Mesiono, and Muhammedi, “Penyusunan Rencana Strategis Dalam Pengembangan Budaya Mutu Pendidikan Di Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh H. Ab 31 dul Halim Hasan Al Ishlahiyah Binjai.” Coy Cador, Pilivet Aguiar Alayola, and Universidad Caribe, “Cancún, Emergent City: A Proposal to Apply the Balance Scorecard Model as a Method to Evaluate Sustainability and Quality of Life,” Journal of Strategic Innovation and Sustainability 32 17, no. 1 (2022), doi/10.33423/jsis.v17i1.5107. Tibbs and Langat, “International Journal of Economics, Commerce and Management INTERNAL PROCESS, LEARNING PERSPECTIVE OF BALANCE SCORECARD AND ORGANISATIONAL PERFORMANCE A CASE OF TATA CHEMICALS MAGADI LIMITED, KENYA.” 33 34 Tibbs and Langat. Prasetyoningrum, “Pendekatan Balance Scorecard Pada Lembaga Amil Zakat Di Masjid Agung Jawa Tengah [The Balanced Scorecard Approach to the Amil Zakat Institution at the Great Mosque of Central Java].” 35 I Wayan Gede et al., “Analisis Komparasi Kinerja Berbasis Balance” 2 (2014): 340–54.

  1. Setahun kemudian, bersama Win Van Grembergen, Ronald Saull memperkenalkan istilah penyelarasan (alignment) antara strategi organisasi dengan teknologi informasi dengan menggunakan balanced scorecard. Buku yang mengulas hal ini secara lengkap ditulis oleh Jessica Keyes yang berjudul “Implementing IT Balanced Scorecard” (2005). Dalam bidang pendidikan, studi oleh Beard (2009) yang mengidentifikasi penerapan BSC kepada dua sekolah yang menerima penghargaan dari Malcolm Baldrige National Quality Award Program menyimpulkan bahwa perusahaan penerima penghargaan lebih memperoleh alasan yang sesuai dengan visi dan misi organisasi setelah menerapkan BSC. Penghargaan Malcolm lebih fokus kepada keberhasilan mencapai sebalas sasaran, akan tetapi penerapan BSC memberikan posisi yang lebih jelas bagi perusahaan. Karena penerapan BSC dapat menjelaskan konsistensi capaian dengan visi-misi organisasi dan nilai inti serta perbaikan yang dilaksanakan oleh organisasi. 36 Sifat BSC kemudian yang menekankan kepada sistem manajemen tidak hanya memampukan organisasi tapi juga membantu perusahaan mengklarifikasi visi dan menterjemahkannya kepada sasaran yang operasional, ukuran dan tindakan yang jelas dan sesuai dengan misi dan nilai inti organisasi. 37 Kaplan dan Norton bersama dengan sejumlah perusahaan melakukan eksperimen. Dari awal tahun ditetapkan pengamatan terhadap keberhasilan ataupun kinerja perusahaan, sampai diputuskan bahwa empat perspektif itu memang dapat dijadikan ukuran keberhasilan perusahaan. Sampai sekarang, Kaplan dan Norton memiliki proyek bersama dengan sejumlah perusahaan untuk menentukan cara bagaimana perusahaan agar berhasil. Berdasarkan konsep balanced scorecard ini kinerja keuangan sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari kinerja non keuangan (customer, proses bisnis, dan pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja dalam rumusan seperti itu, akan tetapi sampai kepada upaya memasukkan sekumpulan perusahaan. Sampai sekarang pekerjaan ini masih berjalan, sehingga muncul perusahaan ataupun konsultan yang membuat program kepada sekumpulan perusahaan untuk mengikuti programnya. Dari hasil pengamatan diakui bahwa perusahaan–

36 Singgih and Sulistyono, “Analisis Kinerja Strategi Bisnis Koperasi Karyawan UNTAG Surabaya Dengan Pendekatan Balance Scorecard.” 37 Fooladvand, Yarmohammadian, and Shahtalebi, “The Application Strategic Planning and Balance Scorecard Modelling in Enhance of Higher Education.”

Phillips), institusi pemerintahan dan LSM (Paul Niven, 2003), jasa konsultansi (Jack Phillips, 1999), kepemimpinan (Jack Phillips), dan sebagainya. Begitu juga dengan upaya untuk menggabungkan dengan alat manajemen yang lain seperti six sigma (Praveen Gupta, 2003). Kemudian juga bermunculan perangkat lunak komputer (software) untuk balanced scorecard, mulai dari yang murah meriah seperti Strategy Dialog buatan India, sampai dengan yang mahal seperti QPR buatan Finlandia. Kabar terakhir mengatakan bahwa dua pemain aplikasi ERP terbesar yaitu SAP dan Oracle juga sedang mengembangkan modul khusus balanced scorecard untuk melengkapi modul aplikasi ERP mereka saat ini. Ringkas cerita, balanced scorecard adalah sebuah metode manajemen yang fenomenal. Mengapa balanced scorecard menjadi begitu fenomenal? Ada beberapa alasan. Pertama, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara kuantitatif, karena ada indikator kinerja (key performance indicator atau KPI) yang harus didefinisikan secara kuantitatif. 40 Ini mengubah pola pikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir secara umum dan tidak operasional, atau sangat filosofis menjadi kuantitatif dan operasional Kedua, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara sistematik, 41 karena ada hubungan sebab- akibat (cause-effect relationships) yang harus dibangun untuk setiap strategi dan program kerja organisasi. Hal ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir yang tidak berkait, tidak bisa melihat dampak dari sebuah tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemik dan integratif. Ketiga, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara komprehensif, karena harus melihat kinerja organisasi dari berbagai perspektif sudut pandang, tidak hanya satu sudut pandang. Ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir yang parsial, hanya satu atau dua perspektif, menjadi lebih komprehensif atau mampu melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh. 42

40 Tibbs and Langat, “International Journal of Economics, Commerce and Management INTERNAL PROCESS, LEARNING PERSPECTIVE OF BALANCE SCORECARD AND ORGANISATIONAL PERFORMANCE A CASE OF TATA CHEMICALS MAGADI LIMITED, KENYA.” 41 Montequín et al., “A Bradley-Terry Model-Based Approach to Prioritize the Balance Scorecard Driving Factors: The Case Study of a Financial Software Factory.” 42 Montequín et al.

Keempat, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal sangat simpel dan mudah untuk dipahami. 43 Metode ini tidak rumit dan membutuhkan suatu keahlian khusus yang spesifik. Umumnya orang membutuhkan waktu yang tidak lama untuk memahami metode ini, bahkan menjadi pengguna metode ini. Karena simpel, maka metode ini bisa dipahami oleh berbagai lapisan di dalam organisasi, dengan demikian manajemen strategi organisasi menjadi sangat baik, karena strategi dipahami oleh semua lapisan. Kelima, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal sangat fleksibel, bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. 44 Misalnya, untuk organisasi bisnis komersial maka tentu perspektif finansial menjadi sasaran akhir organisasi, tetapi untuk organisasi pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, hal ini tentu tidak tepat. Maka, kita dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard untuk disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Keenam, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dapat diintegrasikan atau digabungkan dengan berbagai metode manajemen lainnya, 45 seperti SWOT, six sigma, manajemen risiko, dan sebagainya. Menurut penciptanya, metode balanced scorecard dikembangkan tidak dimaksudkan untuk menggantikan metode manajemen yang sudah ada, melainkan melengkapinya, dan bahkan juga dimaksudkan untuk perangkai (integrator) dari metode-metode manajemen yang sudah ada saat ini. 2. Balanced Scorecard sebagai Strategi Strategi korporasi diturunkan dari Visi dan Misi. 46 Demikian penting peran strategi, sehingga kalau tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006) menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu: 1) komunikasi yang sulit antar staf, 2) komitemen manajemen operasional lemah, 3) gagal menerima umpan balik dan mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak valid, 5) perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian sumberdaya tidak konsisten.

43 Syafaruddin, Mesiono, and Muhammedi, “Penyusunan Rencana Strategis Dalam Pengembangan Budaya Mutu Pendidikan Di Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh H. Abdul Halim Hasan Al Ishlahiyah Binjai.” 44 Fooladvand, Yarmohammadian, and Shahtalebi, “The Application Strategic Planning and Balance Scorecard Modelling in Enhance of Higher Education.” 45 Devie, “The Relationship between Non-Financial Performance AndFinancial Performance Using Balanced Scorecard.” 46 Bostan Ionel and Grosu Veronica, “Contribution of Balance Scorecard Model in Efficiency of Managerial Control,” Romanian Journal of Economic Forecasting 14, no. 3 (2011): 178–99.

Terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan masing-masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas menunjukkan adanya satu siklus: keuntungan pendidikan hanya dapat tumbuh bilamana pendidikan mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara posisi di benak pelanggan hanya mungkin bila pendidikan mempunyai proses belajar. Satu hal yang sangat nyata dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu dengan lainnya saling berhubungan. 51 Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara empiris. Selanjutnya Kaplan menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai rangkaian pencapaian tujuan. 52 Dari ke empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas, Kaplan (1992) juga menjelaskan bahwa posisi persfektif seperti diatas berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui perumusan inisiasi yang akan digunakan. Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC banyak memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. 53 Frigo (2002) melaporkan korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T Canada, Chemical Bank, Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial Service, dan Wendy’s International menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis maupun kerangka yang dapat dijadikan pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi. Selanjutnya dari hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1) pengguna BSC dapat mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam pengukuran kinerja, 3) penggunaan alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja dengan kinerja perusahaan karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu: 1) Pemahaman manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan tindakan dan strategi yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan;

51 Syafaruddin, Mesiono, and Muhammedi, “Penyusunan Rencana Strategis Dalam Pengembangan Budaya Mutu Pendidikan Di Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh H. Abdul Hal 52 im Hasan Al Ishlahiyah Binjai.” Montequín et al., “A Bradley-Terry Model-Based Approach to Prioritize the Balance Scorecard Driving Factors: The Case Study of a Financial Software Factory.” 53 WAD Retnawan, Paulus Kindangen, and JL Sepang, “Analisa Kinerja Perusahaan Dengan Menggunakan Pendekatan Balance Scorecard (Studi Kasus Pada Pt United Tracktor, Tbk),” Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi 16, no. 3 (2016): 219–29.

  1. Rekayasa mendasar dari proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan Perbedaan fundamental antara pendekatan tradisional dan Balanced scorecard terlihat antara lain pada pendekatan tradisional bertujuan untuk memantau dan meningkatkan proses bisnis yang telah ada. 54 Sementara pendekatan Balanced scorecard akan selalu mengindentifikasi keseluruhan proses yang baru, dimana pendidikan harus memenuhi tujuan keuangan dan pelanggannya. 55 Sasaran strategic dari perspektif proses bisnis ini adalah organizational capital seperti meningkatnya kualitas proses layanan kepada customer, komputerisasi proses layanan kepada customer, dan penerapan insfrastruktur teknologi yang memudahkan pelayanan kepada customer. Keempat, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ( learning and Growth perspective). Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang harus dibangun pendidikan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan pendidikan jangka panjang. Sasaran strategic dari perspektif ini adalah human capital. Sebagai contoh peningkatan kompetensi dan komitmen dari staff pendidikan. Gambaran mengenai empat perspektif dalam Balance scorecard terlihat dalam diagram yang dinamakan cause and effect diagram atau diagram hubungan sebab akibat. Dalam diagram tersebut tergambar antara hubungan sasaran strategic dengan dalam perspektif yang berbeda. Balanced scorecard mengidentifikasi dan membuat secara eksplisit hipotesis tentang hubungan sebab akibat antara pengukuran outcome dan pemicu kinerja dari outcome tersebut. Proses pembuatan Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan energi yang besar dan diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian visi dan misi perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome measure) dan pemicu kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan dengan Lembaga pendidikan. Dapat dipastikan bahwa penerapan Balance scorecard secara manual mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama dalam konsistensi dan komunikasi antara top, middle, lower management.

54 Ionel and Veronica, “Contribution of Balance Scorecard Model in Efficiency of Managerial Control.” 55 Abdi Salam Salad Abdulle, Zaini Zainol, and Hawa Ahmad Mutalib, “Impact of Computerized Accounting Information System on Small and Medium Enterprises in Mogadishu, Somalia: The Balance Scorecard Perspectives,” International Journal of Engineering and Advanced Technology 8, no. 5 (2019): 159– 65, doi/10.35940/ijeat.E1023.0585C19.

Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini tidak henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang pencapaian tujuan. Oleh karena itu perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian dari strategi. Patut dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks yang menjelaskan bahwa: Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi. 60 Karena itu disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan penegasan strategi sejak dari awal. Keterlibatan manajemen senior sangat kritis, karena dukungan internal sangat dibutuhkan guna menentukan keberhasilan organisasi menerapkan BSC. Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing- masing perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi menjadi bagian dari strategi karena memberikan umpan balik dan koreksi atas hasil yang diperoleh. Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu Lembaga Pendidikan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat perencanaan strategis dimulai. 61 Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena penyusun strategi akan dapat menentukan. Hendrick (2004) menunjukkan kendala penerapan BSC (1) sedikit pemeriksaan tentang faktor yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan keyakinan bahwa dengan pengadopsian BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan. Selanjutnya ia melaporkan bahwa kunci dari penerapan BSC adalah keterlibatan kepemimpinan senior; mengartikulasi visi dan strategi pendidikan; mengidentifikasi kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil;

60 Chalikias, “Appl. Oper. Res. Math. Model. Manag.” 61 Cheowsuwan, “The Strategic Performance Measurements in Educational Organizations by Using Balance Scorecard.”

terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi, dan tingkatan fungsi; kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti (jangka pendek dan panjang, memimpin, dan tertinggal); kenakan penganggaran yang tepat, Teknologi Informasi, Komunikasi, dan sistem imbal jasa. Melihat BSC sebagai proses kontinius, membutuhkan perbaikan, penilaian ulang, dan pemutakhiran dan percaya bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan organisasi. Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak. 62 Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan ini harap diingat akan 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian tidak serta merta memposisikan perusahaan dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini harus termuat dalam satu perencanaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya penetapan demikian haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan sumberdaya yang jelas terhadap upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian sumberdaya maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC yang telah disusun. Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi, karena satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur. 3. Implementasi Scorecard Implementasi BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun perusahaan. 63 Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut banyak hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). 64 Apa yang harus dicatat dari berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC sekalipun dibutuhkan strategi. Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC

62 Cador, Alayola, and Caribe, “Cancún, Emergent City: A Proposal to Apply the Balance Scorecard Model as a Method to Evaluate Sustainability and Quality of Life.” 63 Saihu Saihu, “Implementasi Manajemen Balanced Scorecard Di Pondok Pesantren Jam’Iyyah Islamiyyah Tangerang Selatan,” Mumtaz: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Keislaman 3, no. 1 (2019): 1–22, doi/10.36671/mumtaz.v3i1.30. 64 Opan Arifudin, “Implementasi Balanced Scorecard Dalam Mewujudkan Pendidikan Tinggi World Class,” Edumaspul: Jurnal Pendidikan 5, no. 2 (2021): 767–75.

Was this document helpful?

Balance Score CARD (BSC)

Was this document helpful?
BALANCE SCORE CARD (BSC) DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PERENCANAAN PENDIDIKAN ISLAM
Lukman Sholeh, M. Ma’ruf Al-Arif
Program Study Magister Manajemen Pendidikan Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Lukmansholeh211199@gmail.com,alaarifmaruf@gmail.com
ABSTRACT
This study aims to determine the concept of the balanced scorecard in strategic management.
The balanced scorecard education has now been transformed into a management assessment
model that is believed to be able to boost performance for the better. In the era of globalization
that is increasingly liberal as it is now, it is hard to deny, the increasingly high market demands
are very important things to anticipate. If not, surely existence will be crushed by the might of
the competitors. The Balance Scorecard application starts from its roots, namely learning and
growth, which contributes to internal business processes, so that customers become satisfied
and in the end the company will benefit which is reflected in financial performance. Finally,
the ability to meet targets for financial, customer and internal business process objectives
depends on the organization's ability to learn and grow. Those who enable learning and growth
in particular come from three sources, namely employees, systems and organizational equity.
Strategies for superior performance generally require significant investment in people, systems
and processes that build organizational capabilities. As a result, goals and measures for parties
that enable reliable performance in the future must be an integral part of an organization's
Balanced Scorecard.
Keywords : Balance Score (BSC), Planning Implementation
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep balanced scorecard dalam manajemen
strategik Pendidikan balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian
manajemen yang diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman globalisasi
yang kian liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin tinggi menjadi
hal yang sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya eksistensi akan tergilas oleh
keperkasaan pihak kompetitor. Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu
pembelajaran dan pertumbuhan, yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis,
sehingga pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan
keuntungan yang tercermin dalam performasi keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi
target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern tergantung kepada
kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang memungkinkan belajar dan
tumbuh khususnya berasal dari tiga sumber, yaitu pegawai, sistem dan penyetaraan organisasi.
Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada orang,
sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan ukuran
untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus merupakan
bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.
Kata Kunci : Balance Score (BSC), Implementasi Perencanaan