Skip to document

Teori Durkheim dan Max Weber Tentang Kebudayaan dan Kemasyarakatan

Teori durkheim dan maz weber tentang kebudayaan dan kemasyarakatan
Course

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (HKM61312)

130 Documents
Students shared 130 documents in this course
Academic year: 2021/2022
Uploaded by:
Anonymous Student
This document has been uploaded by a student, just like you, who decided to remain anonymous.
Universitas Bengkulu

Comments

Please sign in or register to post comments.

Preview text

  1. Teori Durkheim Tentang Kebudayaan dan Kemasyarakatan Di mata Durkheim, subyek sosiologi adalah “fakta sosial”, yang memiliki ciri-ciri gejala empirik yang terukur, eksternal dan menekan (coercive). Eksternal dalam arti di luar pertimbangan-pertimbangan individu sebagai entitas biologis. Di samping itu ia juga memiliki kekuatan koersif untuk menekan terhadap kemauan individu. Ia merupakan sesuatu yang bis diukur sehingga bisa dikaji secara empirik dan bukan filosofis, sehingga fakta sosial tidak bisa dikaji semata-mata dengan pendekatan mentak ansich, melainkan memerlukan data dari luar fikiran manusia. studi empirik mengenai fakta sosial sebagai barang terukur merupakan koreksi terhadap teori Comte dan Spenser (Ritzer, 1996c; 185, Coser, 1977: 129). Durkheim membedakan dua jenis fakta sosial-material dan nonmaterial. Fakta sosial material antara lain masyarakat, komponen struktur masyarakat seperti gereja, negara, juga komponen masyarakat seperti distribusi penduduk jaringan komunikasi dan perumahan, jadi sesuatu yang real, entitas material sejauh ia sebagai elemen eksternal. Oleh karena itu di sini ia memasukkan arsitektur dan hukum sebagai fakta sosial material, dalam arti ia merupakan manifestasi material dari fakta sosial non-material. Durkehim memasukkan fakta sosial non material, dan hal ini menjadi fokus utama dalam sosiologi Durkheim menyebutnya norma, nilai-nilai, moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif, peristiwaperistiwa sosial dan budaya pada umumnya. Dengan demikian ranah analisis Durkheim lebih bersifat makro obyektif (Lihat Ritzer, 1996c: 185187). Dari dimensi teoritik yang diungkap durkhim dapat dipelajari mengenai pembagian kerja dalam masyarakat, anomic, perkembangan masyarakat dan bunuh diri, agama, aktor serta aksi dan interaksi individu. Dalam analisisnya terhadap pembagian kerja masyarakat, Durkheim banyak dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spenser yang menggunakan analogi biologis memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari bagian yang saling tergantung satu sama lainnya. Durkheim memandang masyarakat modern sebagai keseluruhan organis yang mempunyai realitasnya sendiri. Keseluruhan organis yang memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tersebut tidak terpenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Patologi dalam masyarakat modern, menurut Durkheim berupa kemerosotan

moralitas umum yang melahirkan anomie (Ritzer, 1996c: 194). Masyarakat terintegrasi karena adanya kesepakatan di antara anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Nilainilai kemasyarakatan ini oleh Durkheim disebut dengan kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran kolektif ini berada di luar individu (exterior), namun memiliki daya kesadaran kolektif adalah suatu konsensus masyarakat yang mengatur hubungan di antara anggota masyarakat bersangkutan. Kesadaran kolektif tersebut bisa terwujud aturan- aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk, luhur dan mulia, dan sebagainya. Misalnya kesadaran kolektif yang berwujud agama yang dalam klasifikasi Durkheim agama diklasifikasi secara langsung bagian dari fakta sosial non-material, berbeda dengan hukum atau arsitektur. Agama itu praktek-praktek kehidupan yang mampu mempersatukan ke dalam kesatuan moralitas masyarakat yang disebut dengan gereja, dari siapa saja yang setia dengannya. (Ritzer, 1996c: 202) Asal mulaagama dari masyarakat itu sendiri, dengan adanya perbedaan (yang dilakukan individu-individu) tentang hal-hal yang sakral, bentuk esensi agama yang menjadi sumber referensi, respek, misteri, rasa terpesona dan hormat, dan hal-hal yang profane dalam kehidupan seharihari, tempat-tempat umum, kegunaan sesuatu, kehidupan duniawi, yang masing-masing orang bersikap tertentu. Penghargaan terhadap suatu fenomena dapat mentransformasikan seseorang dari yang profane menjadi sakral.

  1. Teori Max Weber Tentang Kebudayaan dan Kemasyarakatan Weber mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Marx Weber adalah sosiolog, Jerman yang dianggap sebagai bapak sosiologi modern. Dia membahas bermacam gejala kemasyarakatan, misalnya tentang perkembangan bangsa-bangsa di dunia, tentang kepemimpinan, tentang birokrasi, dan sebagainya. Salah satu topik yang penting bagi masalah pembangunan yang dibahas oleh Marx Weber adalah tentang peran agama sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pembahasan ini diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul The Protestanat Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya Weber mencoba menjawab pertanyaan mengapa beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di bawah sistem kapitalisme. Setelah melakukan analisis, Weber

Jepang. Dengan bukunya yang terkenal, Tokugawa Religion, dia menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai etika Protestan itu juga ada pada agama Tokugawa. Karena itulah, Jepang berhasil membangun kapitalisme dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Was this document helpful?

Teori Durkheim dan Max Weber Tentang Kebudayaan dan Kemasyarakatan

Course: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (HKM61312)

130 Documents
Students shared 130 documents in this course
Was this document helpful?
1. Teori Durkheim Tentang Kebudayaan dan Kemasyarakatan
Di mata Durkheim, subyek sosiologi adalah “fakta sosial”, yang memiliki ciri-ciri
gejala empirik yang terukur, eksternal dan menekan (coercive). Eksternal dalam
arti di luar pertimbangan-pertimbangan individu sebagai entitas biologis. Di
samping itu ia juga memiliki kekuatan koersif untuk menekan terhadap kemauan
individu. Ia merupakan sesuatu yang bis diukur sehingga bisa dikaji secara
empirik dan bukan filosofis, sehingga fakta sosial tidak bisa dikaji semata-mata
dengan pendekatan mentak ansich, melainkan memerlukan data dari luar fikiran
manusia. studi empirik mengenai fakta sosial sebagai barang terukur merupakan
koreksi terhadap teori Comte dan Spenser (Ritzer, 1996c; 185, Coser, 1977:
129). Durkheim membedakan dua jenis fakta sosial-material dan nonmaterial.
Fakta sosial material antara lain masyarakat, komponen struktur masyarakat
seperti gereja, negara, juga komponen masyarakat seperti distribusi penduduk
jaringan komunikasi dan perumahan, jadi sesuatu yang real, entitas material
sejauh ia sebagai elemen eksternal. Oleh karena itu di sini ia memasukkan
arsitektur dan hukum sebagai fakta sosial material, dalam arti ia merupakan
manifestasi material dari fakta sosial non-material. Durkehim memasukkan fakta
sosial non material, dan hal ini menjadi fokus utama dalam sosiologi Durkheim
menyebutnya norma, nilai-nilai, moralitas, kesadaran kolektif, representasi
kolektif, peristiwaperistiwa sosial dan budaya pada umumnya. Dengan demikian
ranah analisis Durkheim lebih bersifat makro obyektif (Lihat Ritzer, 1996c:
185187). Dari dimensi teoritik yang diungkap durkhim dapat dipelajari mengenai
pembagian kerja dalam masyarakat, anomic, perkembangan masyarakat dan
bunuh diri, agama, aktor serta aksi dan interaksi individu. Dalam analisisnya
terhadap pembagian kerja masyarakat, Durkheim banyak dipengaruhi oleh
Auguste Comte dan Herbert Spenser yang menggunakan analogi biologis
memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari bagian yang saling
tergantung satu sama lainnya. Durkheim memandang masyarakat modern
sebagai keseluruhan organis yang mempunyai realitasnya sendiri. Keseluruhan
organis yang memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang
harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam
keadaan normal tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tersebut tidak
terpenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis.
Patologi dalam masyarakat modern, menurut Durkheim berupa kemerosotan